Rabu, 14 September 2011

Janda Beranak Satu

Ceritanya sungguh mengiris hati. Bagaimana tidak di usianya yang masih tergolong muda ia harus menanggung beban hidup yang begitu berat. Ia menikahi seorang pria yang baru saja keluar dari penjara, karena kasus narkoba. Entah seperti apa besar cinta yang dimilikinya, hingga membutakan mata hatinya. Sampai ia rela menunggu kekasih hatinya bebas dan menikahinya. 

Pernikahan yang dinantikan itupun terjadi tanpa diketahui calon mertunya. Sebagai seorang perempuan, menikah dan hidup bahagia dengan orang yang sangat ia cintai adalah mimpinya. Tetapi itu semua hanyalah sebuah harapan kosong, ia harus menerima kenyataan pahit. Setelah pernikahan itu suaminya minta zin untuk mencari pekerjaan di kota lain. Tanpa ada rasa curiga, demi hidup yang lebih baik maka iapun melepasnya. Meskipun dengan hati yang berat karena masih sebagai pengantin baru.



Waktu berlalu, hari-hari terasa lambat berjalan. Suaminya tak pernah lagi pulang, tak ada kabar tak bisa di hubungi. Ia kehilangan jejak. Rasa cemas dan takut mulai menghantuinya. Berbagai pertanyaan yang tak bisa di jawabnya terus merongrong. Diamanakah kekasih hatinya…?

Doanya tak pernah putus, semoga kebahagiaan akan datang untuknya. Membawa kembali suaminya pulang ke pangkuannya. Berhari-hari ia menunggu, dan hanya bisa menunggu. Tanpa ia sadari ada yang lain di tubuhnya. Suaminya telah meninggalkan tanda cinta. Di rahimnya telah tumbuh jabang bayi. Ia tak jua menyadarinya. Sampai akhirnya perutnya membuncit, akhirnya dokter bilang ini sudah minggu ke 6.

Ia lemas, air matanya luruh tak dapat lagi ia membendung kesedihannya. Pikirannya melayang, ia gamang bagaimana mungkin bisa menghadapi ini sendiri. Sambil mengusap perutnya ia berdoa “Tuhan…berikan kekuatan, berikan kekuatan!” hanya itu yang bisa ia ucapkan. Itu yang selalu di ulang-ulanginya. Sampai akhirnya ia lelah, air matanya mengering meninggalkan bekas sembab di matanya.

Orang-orang terdekatnya menguatkan, menghiburnya. Mengembalikan logikanya. Dan iapun tersadar, ia bangkit menegakkan kepala. Dan berbisik ” Ia harus bertahan..apapun yang terjadi ia harus hidup untuk bayi yang di kandungnya..” Hari-hari berat dilaluinya sendiri. Telah ikhlas hatinya menerima Tapi harapan masih terus ada, suaminya akan kembali.

Waktu berlalu perutnya semakin membesar. Bayinya akan segera lahir. Untuk terakhir kalinya ia berharap, Tuhan akan membawa pulang suaminya, menemaninya dalam proses persalinan. Ternyata tidak. Ia tetap sendiri sampai bayi itu lahir dan besar ia masih saja sendiri. 

Sekarang usia putranya sudah 2,5 th. Ia tumbuh sehat. Ia jalani hidupnya berdua dengan buah hatinya. Sampai ia memutuskan mengakhiri penantiannya. Ia telah menutup hatinya. Tak ada lagi cinta untuk suaminya. Berganti kasih sayang yang tulus untuk putra semata wayangnya. Ia mengurus sendiri perceraiannya. Kini ia telah bebas. Ia hidup sebagai janda beranak satu. Prediket yang tak pernah ia inginkan itu disandanganya jua. Dan ia tak malu dengan statusnya, karena ia yakin Tuhan punya rencana lain untuknya.

Ia hidupi anaknya dengan keringatnya, sebagi tukang cuci di rumah tetangga. Baginya apapun akan dilakukan untuk buah hatinya. Meskipun ia harus dihina karena pekerjaannya. Ia tidak menyerah selama jalan yang dipilihnya halal ia akan terus melakukannya.

Ia terus berjuang, berjuang untuk menghidupi diri dan anaknya. Harapannya masih terus membara ia ingin kehidupan yang lebih baik. Mungkin bukan saat ini, tapi nanti saat ujian-ujian telah lulus dijalaninya. Ia akan terus menunggu.

Cat.ditulis pada Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar