Kamis, 22 September 2011

Tunanganku Memutuskan Hubungan Kami, Apa Aku Harus Menangis?

Terpaksa juga kutuliskan cerita ini, walaupun sebenarnya tak ingin menuliskannya. Karena aku berpikir biarlah aku saja yang merasakan beban berat ini, orang lain tak perlu tahu. Tetapi entah kenapa sesuatu memaksaku, untuk tetap harus membaginya kepada yang lain, karena boleh jadi apa yang kualami ini, pernah juga dialami orang lain. Bahkan mungkin lebih menyakitkan dari cerita ku. Semoga ini akan menjadi pelajaran berharga untuk orang lain. Itulah harapan terbesarku.

Aku seorang perempuan cantik berpendidikan tinggi. Ingin melepaskan masa lajangku. Dan aku telah menemukan pasangan yang tepat untuk menjadi calon suami. Maka akupun bertunangan. Secara fisik kami  sangatlah cocok sama-sama enak dipandang mata, pendidikan pun setara, sama-sama memiliki cita-cita tinggi dan haus ilmu. 

Latar belakang keluarga juga tak jauh beda, dari keluarga sederhana dan terdidik. Adat dan budaya juga tak ada yang perlu dipersoalkan. Hampir semua hal jika dipadukan kami akan menjadi pasangan yang serasi.

Pesta pernikahan sudah ditentukan waktu dan harinya. Semua tetangga, keluarga besar sudah diberi tahu, kebahagiaan memenuhi seisi rumah dua keluarga calon pengantin ini. Semuanya dibenahi, para orang tua juga sudah menyiapkan anggaran untuk biaya pesta nanti. Karena ini adalah pernikahan putri semata wayang mereka, tentu saja semuanya ingin terlihat sempurna. Walaupun hanya pesta sederhana namun tetap harus dipersiapkan secara matang. 

 Waktunya semakin dekat, kebahagiaan semakin terlihat di depan mata. Hati berbunga-bunga. Cinta kepada sang kekasih telah melenakanku, sehingga semua yang terlihat oleh mata hanyalah keindahan.

Tapi semua jadi berbeda untuk hari ini. Perasaan tak seindah biasa, Menjejal langkah di tanah yang basah. Tanganku menyentuh dedaunan berkabut terselubungi embun. Persis seperti hati yang berkabut saat ini. Takjub dengan keagungan Sang Pencipta memberikan kesuburan luar biasa pada negeri tercinta. Semua keindahan alam di pagi ini, aku mencoba untuk  menghalau segala kegelisahan jiwa. 
 
“Maaf…aku tak bisa lagi setia menjaga cintamu!” kata-kata terakhir tunangannya beberapa hari lalu terus mengiang di telinga. Bak petir menyambar di siang bolong, menghentak sampai ke sendi-sendi tulang, meremukkan seluruh pertahanan diri.

“Tak sengaja telah melukai hatimu, semenjak kita jauh tak bisa aku mengerti dirimu…” Terus mengalir kata-kata itu menampar hati dan perasaannya. Tak bisa lagi ia mengurai kelabu jiwa yang terwarnai sepi.
“Memintamu tetap bertahan, dan kembali dalam genggaman cinta sudah tak sanggup lagi untuk kulakukan. Apa dayaku kini, engkau yang memutuskan pertunangan kita.”

Aku wanita yang tegar, aku kuat untuk menerima semuanya. Masih ada seribu pria yang bisa kupilih sebagai penggantimu. Aku tak kan memelas, menjatuhkan harga diri sebagai perempuan. Aku merelakan jika ini adalah pilihan terakhirmu. Tapi ini bukan hanya antara kau dan aku, ada orang-orang di sekitar kita yang belum tentu bisa menerima keputusan ini. apa kau pernah tahu bagaimana beban seberat ini mampu dipikul orang tuaku, keluargaku. 

Sadarkah kau ini sebuah pelecehan, hinaan terhadap mereka. Buatlah sesuka hatimu, apapaun yang kau mau. Tetapi menyakiti mereka dengan keputusanmu sesuatu yang tak termaafkan olehku.
Betapa kau pria yang sangat bertanggungjawab ketika berani melamarku kepada kedua orangtuaku. Kau yang selalu meyakinkan mereka kau akan menjaga dan setia menemaniku. Hingga kepercayan penuh diberikan kepadamu. Tapi kini kau melepaskan tanggungjwab itu, kau tak perdulikan persaan mereka yang hancur, kau permainkan hati mereka yang sudah tua. Aku bisa menghadapi ini dengan senyum kemenangan, dan mengatakan
“Kaulah orang yang telah mencabut cintaku dari hatimu” tapi aku tak sanggup menyaksikan senyum pahit keluargaku, yang selama ini mengharapkan kebahagiaanku.

Pergilah kau, sejauh-jauhnya dari hidupku. Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untukku dan untukmu. Aku akan mengumpulkan segala daya dan upaya untuk membuktikan kepada keluargaku, kalau aku perempuan dewasa yang pernah mereka lahirkan, akan tetap menjadi perempuan dewasa yang tegar. Berdiri dengan menegakkan kepalaku, melangkah dengan kakiku yang kokoh. Ku akan menatap kelam dunia ini dengan terangnya jiwaku. Dan tak akan goyah oleh semua penderitaan yang kau berikan. 

Suatu hari mereka akan mengerti, dan tak perlu menangisi nasib yang menimpaku. Karena aku akan selalu mempersembahkan mereka senyum terindah yang kumiliki.

ditulis Januari 2010

3 komentar:

  1. ikut sedih dan terharu mbak fitri, tapi bukankah ada yang lebih sedih lagi. yang pernah aku tulis di blogku. salam kenal mbak :)

    http://budiografi.wordpress.com/2011/06/24/ternyata-kami-lebih-beruntung/

    BalasHapus
  2. teruslah tersenyum dan kelak akan datang waktu bahagia dibalik duka ini :)

    BalasHapus
  3. @mas Budi
    trimakasih sudah mampir mas..
    ok saya cek k sana ya
    salam :)

    Mba Aulia trimakasih aminnn trimakasih mba semoga

    BalasHapus