Sabtu, 30 Juli 2011

Pak Sopir


Mencoba menyelami cara berfikir orang biasa. Mudah saja buat mereka memandang hidup, simple tak berbeli-belit. Yang terpenting adalah bisa makan hari ini. Bagaimana besok rezeki Allah yang atur. Hidup terasa lebih ringan, tanpa beban. Jalani saja apa adanya seperti air mengalir ia akan mencari muaranya. Jika telah sampai maka ia akan berhenti. Tak perlu banyak keinginan, tak usah banyak menuntut. Berusaha melakukan apa yang bisa dilakukan.

Dapat prinsip hidup seperti di atas dari seorang sopir bus, Karena ga bisa nyetir, musim hujan jadi malas naik motor karena resikonya lebih besar. Maka aku memilih untuk naik angkutan umum. Perjalanan yang cukup melelahkan, diantara sesak bau keringat para penumpang, bercampur karbondioksida yang dikeluarkan mesin mobil plus asap rokok yang mengepul. 


2 jam terjebak dalam bus, lengkaplah udara tak sehat yang terhirup hari itu. Tapi harus bertahan, lengok kiri- lengok kanan. Ada yang tertidur dengan pulas, ada yang ngobrol ngarul ngidul ke sana kemari. Bisa dibayangkan suasananya. Daripada harus meratapi nasib…lebih baik menyenangkan diri, mencoba mencari kenyamanan, awalnya melihat keluar jendela pemandangan di sepanjang jalan cukup menentramkam mata dan menghilangkan kantuk.

Kebeulan duduk di depan di samping pak sopir, Tampangnya terlihat agak sangar, cukup tak punya nyali untuk menyapanya, tapi kucoba beranikan diri, dengan sopan kucoba menyapa. “ Sudah berapa lama nyopir pak?” tanyaku..ia melihaku sebentar lalu kembali fokus dengan stirnya “ 15 thn nak, “ jawabnya. Ernyata tak seburuk pikiranku.

Ia cukup ramah. Lalu dari satu pertanyaan itu ternyata ia melanjutkan ceritanya, sampai akhirnya aku hanya menjadi pendengar yang baik. Ia memberitahuku bagaimana ia menghidupi 3 anaknya, tentu saja pola pendidikan yang diterapkan sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. 

Bahkan kalau menurutku ada yang tak sesuai denganku. Ketika ia bercerita ia tak pernah tertawa bersama anak-anaknya di rumah, alasannya itu akan membuat anak-anak menjadi manja, dan tak takut lagi padanya. Aku geli sekali mendengarnya. Ia juga bilang tak pernah menunjukkan rasa sayang pada anak-anaknya. Tetapi akan membelikan apapun yang diminta anaknya. Aneh bukan…?

Hebatnya dia, putrinya yang sulung sudah duduk di perguruan tinggi, putri kedua sudah bekerja, dan putra bungsunya masih sekolah menengah. Terlihat begitu bangga ketika ia bercerita tentang anak-anaknya. Rasa lelah sepertinya hilang dari wajahnya.

Satu yang kupahami darinya, ia begitu menyanyangi anak-anaknya. Meskipun harus bergaul dengan lingkungan terminal yang terkenal keras ia mampu memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya. Mungkin dengan cara yang tak biasa yang ditunjukkan orang tua lain dalam mendidik anak-anak mereka. Pak sopir tak tahu kalau aku juga seorang ibu, ceritanya bisa menjadi pembanding untukku bagaimana seharusnya menjadi orang tua yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar