Selasa, 22 November 2011

Bapak Aku Ingin Menikah


Menjadi seorang perempuan dewasa ternyata gampang-gampang susah. Gampang jika hidup yang dijalani lurus-lurus saja. Tapi susah kalo sudah dihadapkan pada satu hal yang namanya menikah. begitulah yang dialami Tina. Usianya baru 25 th. Masih sedang menyelesaikan pendidikan sarjananya.

Harusnya pada umur segitu ia sudah punya 2 gelar, tapi karena berkali-kali pindah universitas makanya ia harus rela umurnya tua sebelum berhasil mengantongi gelar sarjana. Karena terlalu pintar, dan cita-cita yang begitu tinggi, ia tak puas dengan apa yang dicarinya maka ia telah duduk dibeberapa perguruan tinggi ternama, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menamatkan studinya dibidang kedokteran. Profesi yang selalu menjadi impiannya. Akhirnya gelar Sarjana Kedokteranpun di raihnya. paling tidak satu langkah menuju citanya sudah tercapai.


Karena telah terlalu banyak menghabiskan waktu pindah sana-sini, akhirnya ia lupa untuk mencari seseorang yang akan menjadi teman hidup selamanya. Liburan panjang semester membawanya pulang ke kampung halaman. Betapa herannya ia, karena ternyata ia menemukan banyak sekali kejutan-kejuan dari teman-teman masa kecilnya. Mereka reunian, dan ia terperangah ternyata di antara teman-teman sebaya hanya dia yang masih sendiri alias jomblo. Ada yang datang dengan suami, bahkan ada yang membawa serta anak-anak mereka.

Selama ini ia masih merasa muda, masih bisa hidup bebas tetapi pemandangan yang dilihatnya saat itu menyadarkan bahwa ternyata usianya sudah memasuki fase dewasa. Bukan anak remaja belasan tahun lagi.
Parasnya cantik dan sangat menarik, selain pintar dia juga disenangi teman-temannya karena ia gadis periang yang ramah. Lalu apa yang membuatnya sampai hari ini masih sendiri? Ia mulai menjejali pikirannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya sangat aneh, karena jarang sekali bahkan tak pernah ia membiarkan pertanyaan itu muncul di benaknya selama ini. Waktunya hanya dihabiskan untuk kuliah dan kuliah, ia belum berfikir untuk menikah. Sampai reunian itu berlangsung.

Sepulang acara reunian itu, Ia merasakan bebannya berat, ia bingung bagaimana mengatasinya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengatakan saja kepada orangtuanya tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sekali lagi ia termenung ia akan menikah dengan siapa? Bukankah ia tak punya pacar? Mantan pacarnya dulu juga sudah menikah sekarang, lalu bagaimana?. Mungkin lebih baik sekarang fokus cari pacar dulu. Ah…dia bingung lagi karena buatnya itu juga bukan soal mudah, tidak mungkin mencaplok satu orang lalu mengajaknya berkencan, itu bukan tipikalnya.

Daripada pusing-pusing mungkin lebih baik bilang saja sama Bapak …” aku ingin menikah”. Rasanya malu…tapi harus bagaimana lagi, toh Bapak juga pasti sudah tak sabar juga ingin menggendong cucu. Ia mencoba menepis perasaan malu yang menyapa. Yang penting sekarang kasih tahu Bapak dulu, kali aja bapak punya jalan keluar.

Maka berminggu-minggu ia mengumpulkan kekuatan untuk bicara sama Bapak, dan waktu yang dipilihnya juga pas, ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dan Ia mengajak bapak bicara, kali ini bapak agak heran dengan sikapnya yang aneh, gugup dan pastilah mukanya akan bersemu merah karena menahan malu.

Ia beranikan diri ” Bapak…Aku ingin menikah !” ujarnya pelan. Bapak memandangnya dengan dahi yang berkerut, lalu bapak tersenyum dan berkata ” Dengan siapa nak…?” Tanya bapak lagi. Kali ini ia semakin bingung harus jawab apa. Tapi ia beranikan diri untuk berteus terang ” Saya belum punya calon, kalau bapak mau saya serahkan ke bapak saja. Buat saya yang penting ia adalah lelaki baik, sholeh dan bisa menjadi imam bagi keluarga”

Bapak terdiam lagi, dan bapak hanya menutup pembicaraan hari itu dengan mengatakan, “Baiklah nak, kalau kamu sudah siap bapak akan carikan.dan jangan lupa berdolah semoga Allah memberimu jodoh yang terbaik untukmu di dunia dan akhirat” Bapak berlalu sambil mengelus kepalanya dengan penuh sayang.

Sejak saat itu, dia tak pernah lagi bicarakan soal pernikahan sama bapak, tapi hatinya sudah lega karena bebannya sedikit berkurang, Paling tidak bapak sudah tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Berhari-hari setelah saat pembicaraan dengan bapak, ia kembali ke aktivitasnya biasa. Berkutat diantara buku-buku, diktat dan tugas-tugas di rumah sakit tempat ia menjalini KOAS. Bahkan ingatan untuk menikahpun ia lewatkan begitu saja. Sampai suatu sore bapak menghubunginya lewat telephon genggam.

“Assalamualaikum,” ucapnya mengawali pembicaraan. “Waalaikumsalam”, jawab bapak dari seberang. ” Apa kabar nak? Bapak ada berita baik untukmu. Jika kamu tidak sibuk kamu bisa pulang” Pertanyaan bapak tanpa basa basi,” Ada apa pak? Apa ada sesuatu yang penting sehingga aku harus pulang?” bapak menjawab “Iya..bapak punya seseorang yang ingin bapak perkenalkan ke kamu, anak sahabat bapak dulu, mungkin kamu akan menyukainya.” Dia tergagap, bapak sudah menemukan seseorang? Rasa penasaran muncul dalam hatinya sembari menjawab ” Baiklah pak, dalam beberapa hari ini saya akan usahakan pulang” lalu telephon pun ditutup.

Pikirannya melayang, dia tidak bisa membayangkan seperti apa pria pilihan bapak. Tapi ia tidak mau berkhayal terlalu jauh, hanya doa yang bisa ia panjatkan semoga ini adalah yang terbaik, dan jika Allah telah menentukan jodohnya adalah pilihan bapak maka ia akan menerima dengan setulus hati.

Perjalanan menuju kampung halaman yang ditempuh dengan 8 jam perjalanan darat jadi terasa lama. Mungkin karena pulang kali ini berbeda dengan pulang kampung sebelum-sebelumnya, ia membawa harapan yang begitu besar. Selama dalam perjalanan ia terus berdoa, semoga apa yang dipilihkan bapak terbaik untuknya.

Esok hari sesuai waktu yang telah disepakati, pria yang ingin diperkenalkan bapak kepadanya datang. Mereka bersalaman saling memperkenalkan diri. Kesan pertama ia menilai pria itu adalah orang baik, lalu mereka terlibat pembicaraan ringan, tentang seputar aktivitas masing-masing.

Pria itu berasal dari keluarga baik-baik. Setidaknya itulah kesan yang ditangkapnya di awal pertemuan mereka. Ia seorang dosen di sebuah universitas negeri di kota tempat tinggalnya, dan sekarang sedang menyelesaikan gelar masternya. Sepertinya mereka mulai saling menyukai. Di hari-hari selanjutnya mereka selalu berkirim kabar, lewat telephon dan media lainnya. Terus membangun komunikasi. Sampai mereka sepakat untuk melanjutkannya ke jenjang pernikahan.

Hari bahagia itu sudah ditentukan, semua keluarga sudah sepakat. Perasaan Tina tentu saja sekarang tengah berbunga-bunga, karena pernikahan ini adalah sesuatu yang ditunggu-tunggunya. Dan akan menjadikannya sebagai momen terindah dalam hidupnya. Akhirnyapun mereka menikah, dan sekarang ia telah menjadi seorang wanita dewasa yang sempurna. Bapak selalu tak henti berdoa untuk kebahagiaan putri semata wayangnya.

“Semoga kebahagiaan akan senantiasa meliputimu nak, semoga rumah tanggamu akan menjadi keluarga sakinnah mawaddah wa rahmah, yang dirahmanati Allah” ujar bapak dengan begitu tulusnya saat Tina bersujud di hadapan bapak memohon doa restu.

“InsyaAllah Pak.” Jawab Tina lirih seiring air mata yang meleleh di pipinya. Ia menangis, entah untuk kebahgiaannya di hari ini, atau untuk kesedihannya yang mendalam. Karena dimomen bahagia ini seharusnya ada ibu yang juga mestinya ikut merasakan kebahagiaannya. Tapi tidak Ibu sudah tak ada lagi, bahkan sebelum ibu sempat menyaksikan kebahagiaan pertamanya menyelesaikan kuliah. Namun ia kuatkan hatinya, ibu pasti melihatnya. Dan menyaksikan dengan ruang hati yang diselimuti kebahagiaan yang menggunung di hari bahaginya ini. Lalu seulas senyum mengembang dibibirnya, seolah ia sedang tersenyum untuk Ibu yang tengah berada di sampingnya dan berujar

“Ibu ini aku anakmu,…lihatlah aku begitu cantik dengan gaun pengantin ini. Aku kini akan melengkapi kesempurnaanku sebagai seorang perempuan. Ibu tak perlu lagi khawatir tentangku, karena sejak saat ini akan ada seseorang di sisiku yang akan selalu menjagaku, mendampingiku dalam mengarungi hidup yang keras ini. Ia akan menjadi imamku, tempat aku menyandarkan hati dan seluruh hidupku. Aku akan selalu ingat bagaimana ibu begitu sabar menuntunku hingga aku menjadi seperti sekarang.

Keikhlasan dan ketulusan hatimu mengalahkan segala-galanya engkau mencurahkan seluruh kasih sayangmu hanya untukku. Untuk anakmu yang belum sempat membuatmu bahagia. Maafkan aku ibu, doaku akan selalu untuk mu semoga Tuhan akan menyatukan kita di Syurga. Mohon doa dan restumu ibu, aku mencintaimu dan teramat merindukanmu…”

*ditulis JAnuari 2011

2 komentar:

  1. Wah, baru tahu sudah ada blog
    mampir sejenak dulu ya Mbak Fitri...
    salam hangat
    selalu semangat dalam karya
    tidak lupa kerja
    ha.ha.h.ah.ah.a.ha.

    BalasHapus
  2. wakakka trimakasih Kumpulan Fiksi dah mampir ke blog amburadul ini hihi
    sipp pasti
    y pasti g lupa makan heheh

    BalasHapus