Rabu, 09 November 2011

Maymay Wanita Perkasa (Menjadi Pencuci Keliling Demi Keluarga)


30 January 2011 | 09:20 
Idealnya dalam kehidupan berumah tangga yang bertanggungjawab mencari nafkah adalah suami. Karena itulah suami disebut sebagai kepala keluarga. Suami yang baik akan melakukan apapun ntuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ia akan bekerja sekeras mungkin supaya anak-anak dan istrinya tidak mati kelaparan. Tidak wajib hukumnya bagi seorang istri untuk harus ikut bekerja di luar rumah. Walaupun di zaman sekarang banyak istri-istri yang bekerja, itupun tak jadi soal namun itu tetep sifatnya sebagai penunjang penghasilan suami.

Berbeda halnya dengan apa yang dialami Maymay, wanita yang berperawakan kecil ini boleh dibilang menjadi tulangpunggung dalam keluarganya. Tubuhnya yang kurus dengan kulit pekat yang kering membuatnya jadi terlihat tua. Padahal kalau dipikir umurnya masih sangat muda, masih 30 tahun. Kesusahan hidup membuatnya tak sempat lagi merawat diri, menikah di usia yang sangat muda, dengan seorang pria yang tidak punya pekerjaan. Kenapa ia mau…? Tentu bukan sesuatu yang pantas lagi untuk dikaji, karena keputusan sudah diambilnya, ia harus siap menerima semua resikonya. Dengan usia yang semuda itu, ia sudah memiliki sepasang putra putri dan sekarang sudah duduk di kelas 2 sekolah dasar.


Meski termasuk keluarga sangat miskin, namun ia merawat anak-anaknya dengan telaten, anak-anak itu berpakaian bersih dan rapi meskipun baju-baju yang dipakainya lusuh, dan yang lebih membanggakan Maymay rajin mengajari anak-anaknya belajar, hingga semua orang di sekolah terheran-heran anak Maymay bisa meraih rangking satu di sekolah. Tidak hanya ilmu umum, Maymay juga memasukkan anak-anaknya mengaji dan di tempat mengajipun prestasi anak-anak itu juga membanggakan Maymay.

Sipakah Maymay sebenarnya?. Maymay hanyalah seorang tukang cuci keliling, dari rumah ke rumah ia datang menawarkan jasa untuk mencuci pakaian si tuan rumah. Setiap subuh, Maymay telah berangkat meninggalkan rumah, tentu saja setelah semua pekerjaan rumah telah diselesaikannya, sarapan pagi anak-anak dan suaminya. Terkadang ia juga mencuci dulu pakaian kotornya barulah ia berangkat. Menapaki pagi dalam gelap, mengetuk satu pintu ke pintu lain mengharap orang dalam rumah itu mau bermurah hati memberinya pekerjaan, mencuci ataupun menyetrika pakaian mereka. 

Maymay terus berjalan tanpa lelah, tak perduli cibiran orang-orang sekitarnya yang memandang hina dirinya karena hanya bekerja sebagai pembantu, pencuci di rumah orang-orang kaya. Maymay tak mau menjadi pembantu di satu rumah saja, karena menurut Maymay dia lebih bisa mengumpulkan banyak uang dengan cara seperti ini.

“Jika bekerja jadi pembantu gajinya perbulan mba, sementara saya butuh uang tiap hari..”. Begitu ujarnnya ketika suatu kali ia mencuci di rumahku.
“Kenapa tidak mencari pekerjaan lain saja mba? Tanyaku
“ Bekerja begini mba akan kelelahan, umur mba juga bertambah, otomatis tenaga mba akan berkurang. Mba tidak akan bisa mencuci lebih banyak, sementra biaya hidup makin mahal” ucapku panjang lebar.
“Saya kerja apalagi mba, tak ada yang bisa saya lakukan”
“Kenapa tidak berjualan makanan aja mba? Mba tinggalnya di tepi jalan, itu lebih baik. Dengan berjualan mba bisa lebih maju, dan mba hidup lebih bebas tidak di bawah tekanan orang-orang yang terkadang melecehkan mba”
“ Saya tidak bisa jualan mba..saya sudah pernah coba. Tapi tetangga-tetangga jahat sama saya mba, mereka menghasut orang lain agar tdak membeli ke saya, maklum mba, saya tinggal di kampung suami, bukan di kampung saya. Mereka susah melihat saya senang, dan senang melihat saya susah. Biar begini saja mba..saya bisa keluar rumah, tidak bertemu orang-orang jahat. Kalaupun majikan saya merendahkan saya itu sudah resiko saya mba. Saya terima saja. Tapi kalau sudah harga diri saya yang di singgung-singgung saya juga pasti akan marah mba. Saya memang orang susah kalau orang menertawakan kesusahan saya, Tuhan tidak tidur mba.” Begitu mengharukan dia bercerita.

Sambil terus mencuci pakaian, saya kembali bertanya “ Suaminya kenapa ga kerja mba?” Dia menjawab. “Suami saya sakit-sakitan mba..sejak pertama menikah ia tidak pernah bekerja, saya yang memenuhi kebutuhan keluarga. Sekarang saya malah tak yakin kalau dia benar-benar sakit mba. Apakah itu alasan saja untuknya tidak bekerja. Kami sering bertengkar jika sdah membahas masalah ini, dan saya malu mba sama tetangga jika harus ribut-ribut terus. Jadi biarlah saya diamkan saja.

“Memang suaminya mba sakit apa?’ Tanya saya ingin tahu.
“Epilepsi mba…kalau ia sudah stress dan kecapean penyakitnya kambuh, sekarang saya bekerja uang kerja satu minggu untuk beli obatnya. Karena ia harus minum obat tiap hari. Saya ikhlas mba menjalankan ini semu, namun terkadang saya sangat sedih karena akhir-akhir ini suami saya tak pernah lagi kambuh sakitnya. Tetapi setiap saya suruh cari pekerjaan ada saja alasannya, adalagi yang sakit di tubuhnya yang dikeluhkan ke saya.”
“Mbak Maymay hebat…ucapku. Kalau saya jadi mba Maymay saya belum tentu sanggup, hidup bersama mertua, menghidupi suami dan dua anak. Dan mba Maymay bertahan sampai anak-anak sudah sebesar itu. Sungguh luar biasa mba”

“Saya harus bertahan mba, demi anak-anak. Saya sering terpikir untuk pergi membawa anak-anak dan meninggalkan suami. Tapi saya tidak tahu mau kemana mba, orang tua saya di kampung tidak pernah merestui pernikahan kami. Bagaimana mungkin saya pulang, mereka tidak mau menerima saya mba.” Ia menarik nafas dalam dalam seolah berusaha melepaska derita dalam dirinya.

“nasib saya benar-benar malang.” Lanjutnya “Saya hanya akan bisa hidup kalau saya sendiri yang menguras tenaga. Saya pergi ke tempat lainpun tidak mungkin mba, saya tidak punya uang untuk bayar kontrak rumah. Sekarang mertua saya mau berbaik hati memberi saya sepetak kecil tanah, dan uang hasil kerja saya ini, telah saya buatkan sebuah gubuk kecil cukup untuk tempat tinggal kami berempat. Kalau saya pergi dan meninggalkan tempat ini, uang saya sudah habis mba, meskipun hanya gubuk tapi saya susah payah mengumpulkan uangnya tidak ada yang akan menggantinya mba. Sekarang hidup saya hanya untuk anak-anak saya mba, mereka punya cita-cita tinggi, yang perempuan itu ingin menjadi guru. Seringkali saya menangis jika mendengar impian-impian mereka.” Sambil menyeka air mata yang turun dipipinya.

“Allah akan memberikan rizki kepada setiap hambanya mba..percayalah, berdoalah agar mba tetap diberikan kesehatan sehingga mba bisa terus bekerja. Tapi saya tetap sarankan mba, untuk mencari sampingan yang lain ga bagus untuk kesehatan mba kalau sepanjang hari mba hanya mencuci. “

“iya mba…trimakasih’ ucapnya.
Aku termenung dengan semua yang diceritakan Maymay, bagaimana ia bisa bertahan dalam kondisi seberat ini, Rasanya marah pada keadaan, pada hiup yang tak adil baginya. Pada semua orang yang meremehkannya termasuk suaminya, yang juga terkadang menuntut berlebihan padanya. Aku selalu berusaha memberinya pilihan-pilihan hidup yang lebih baik yang bisa dijalankannya. 

Tapi karena pendidikannya yang tidak sampai dia terlalu ketakutan kalau pekerjaan baru tidak bisa memnuhi kebutuhannya. Aku hanya bisa berdoa untuknya dan akan selalu memberinya pekerjaan apapun, walaupun hanya kadang sekedar memintanya bersih-bersih rumah, tapi buatnya tentu itu sangat berharga. Itulah hidup dengan segala dinamikanya. Masing-masing kita berjuang agar bisa tetap terus bertahan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar