Senin, 28 November 2011

Mereka yang Kelaparan

Kami membawa saja perut kami tidur dalam kondisi lapar. Bukan karena kami tak takut maag akan menyerang. Tapi kami tak punya pilihan lain selain itu. Kami tak punya sesuatu untuk kami makan hari ini. Dan di kantong kami juga tidak tersedia uang sepeser pun untuk dibelikan sesuatu agar kami bisa membuat dapur kembali berasap. Tidak hanya sekali ini, tapi terlalu sering kami mengalami hal seperti ini.

Kira-kira begitulah rintihan orang-orang yang tak mampu. Kesulitan hidup benar-benar telah membuat masyarakat kita berperang melawan perutnya sendiri. Bagi orang-orang lemah, jagankan pergi berlibur atau sekedar jalan-jalan ke tempat keramaian seperti tahanan ngetop si Gayus itu untuk makan hari inipun mereka masih harus berfikir.



Tahun memang sudah berganti, namun hidup mereka masih saja sama seperti hari-hari sebelumnya. Banting tulang menguras keringat demi kelangsungan hidup mereka. Tidak seperti para koruptor, bisa menghambur-hamburkan uang rakyat dengan seenak perut mereka.

Seseorang yang baru datang dari desa mencurahkan kepedihan hidupnya pada ku. Aku tak punya kata yang bisa kuucapkan untuk menghiburnya. Sebagai gantinya aku hanya duduk mendengarkan semua keluhannya. Membiarkannya menumpahkan isi hati yang terlalu lama ingin ia tumpahkan. Bebannya terlalu berat.

“Kenaikan harga pangan telah mencekik kami”. Begitu ia memulai bicaranya. “Hidup dengan lima orang anak dengan jarak yang begitu rapat, benar-benar telah membuat kami menderita. Bukan kami menyesali telah melahirkan banyak anak". Lalu ia berhenti sejenak untuk kembali mengambil nafas. Dalam hati aku berujar makanya pemerintah menganjurkan program keluarga berancana karena ada benarnya juga karena biaya hidup itu mahal.

“Di kampung, saya hanya sebagai penggarap sawah ladang milik orang lain, suami juga melakukan pekerjaan yang sama. Untunglah orang-orang yang mampu membeli ternak dan menyuruh kami menggembalakannya. Jika nanti ternaknya dijual uangnya akan kami pakai untuk memasukkan anak-anak kami ke sekolah yang lebih tinggi”. Urainya panjang lebar. Perempuan itu masih belum terlalu tua, namun karena beban hidupnya maka ia terlihat tua dari usia yang sebenarnya.

“Hari itu adalah hari yang paling menyedihkan untuk kami”. Tuturnya melanjutkan cerita ” Pagi-pagi sekali saya sudah memasak 5 liter beras. Itu hanya cukup untuk makan kami sekeluarga satu hari. Besok kami harus berfikir lagi dari mana 5 liter beras bisa kami dapatkan.” Lalu dia diam sejenak Menghembuskan nafasnya dengan berat, seolah mengeluarkan beban berat yang kini menyesakkan dada.

” Dengan lauk seadanya, biji kacang tanah dan bada kering 2 ons lalu dilumuri dengan sedikit cabe sudah cukup sebagai lauk hari itu. Setelah semuanya masak, kami sekeleluarga sarapan pagi. Lalu anak-anak berangkat ke sekolah. Masih ada tiga orang anak saya yang belum usia sekolah, maka saya meninggalkannya di rumah. Lalu berangkat ke sawah. Karena hari ini harus mencarikan rumput untuk kambing-kambing saya. Karena tergesa-gesa akan turun hujan, Saya lupa menyimpan agak jauh sambal sisa sarapan pagi tadi. Siangnya ketika saya pulang saya benar-benar dibuat menangis. Karena nasi, sambal semuanya telah ludes, bahkan minyak cabe sedikitpun tak tersisa di piring. Saya Tanya anak-anak mereka menjawab dengan sangat polos mereka telah menghabiskannya”

Aku bisa merasakan apa yang ia rasakan saat itu. “Jam di dinding sudah menunjukkan 12.30 wib. Sebentar lagi anak-anak akan pulang sekolah. Saya benar-benar bingung. Mereka pastilah lapar, karena uang jajan tidak akan cukup menyangga perut mereka. Mereka ke sekolah hanya membawa uang cukup untuk ongkos dan jajan seadanya”.

Dia lemas, airmatanya meleleh. Ia ingin marah. Tetapi tak mungkin memarahi anak-anak kecil itu. Aku juga tak tahan untuk tidak menangis mendengar ceritanya. Ini masih siang tapi ia tak punya lagi persediaan untuk makan sekeluarga sampai malam nanti. Lalu ia berjalan ke luar rumah, mencari seseorang yang mau membantunya. Ia menceritakan kesedihannya pada seorang tetangga, tetangganya juga bukan orang kaya. Mereka menangis, tapi si tetangga memiliki hati yang begiu mulia. Di tangannya ada uang sepuluh ribu rupiah. Uang itu juga dipinjamnya kepada orang lain, untuk membeli beras dan Rp.10.000 itu disisakan untuk ongkos anak lelakinya ke sekolah besok pagi. Tapi ia tak menyampaikan itu, ia hanya mengucapkan.

” Ini ambillah , aku habis membeli beras dan masih ada sisa Rp.10.000. belikanlah telur atau apa saja yang bisa kau beli darinya. Segeralah pergi dan masaklah untuk anak-anakmu, sebentar lagi mereka akan pulang ” dengan berat hati ia menerima uang itu, ia sempat bertanya apa tetangga yang baik hati itu punya uang. Setelah yakin tetangganya memberi dengan ikhlas maka iapun pergi.

Ia pulang dengan perasaan sedikit lega. Setelah ia pergi tetangga yang baik itu, hanya termenung. Airmatanya menitik, menyaksikan tetangganya dalam kesusahan yang sangat ia juga bersyukur masih bisa membantu walau juga ia tak punya lebih. Itu membuat beban hidupnya juga terasa lebih ringan. Dalam hati ia hanya berdoa “Tuhan akan menguatkan mereka…bahwa beban ini bukan miliknya seorang !”

Begitu berat penderitaan orang-orang di sekitar kita. Rasanya aku seperti tertampar berkali-kali karena bagaimanapun, kita masih bisa makan enak dengan lauk dan sayur yang memadai. Terkadang juga masih dengan santai membuang makanan yang basi tak termakan lagi. Atau bisa belanja ini itu untuk sesuatu yang tak perlu. Jadi ingat masa-masa duduk di sekolah dasar dulu. Bu guru selalu bilang

” Anak-anak.. kita harus makan 4 sehat 5 sempurna!" buat orang-orang kecil kini ungkapan itu menjadi sebuah lelucon yang sama sekali tidaklah lucu. Karena setiap saat mereka akan mendengarkan perut mereka meneriakkan KAMI KELAPARAN

Tidakkah hati kita tergugah…?

*ditulis Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar