Rabu, 09 November 2011

Tak Ingin Berjodoh Denganmu

Senja sudah semakin dekat, sepertinya malam akan segera datang menghalau siang untuk pergi dengan segera. Fay masih sibuk dengan beberapa pekerjaannya yang sedari tadi belum kelar-kelar juga. Padahal teman-temannya sudah pada pulang sejak satu jam yang lalu. ” Tinggal sedikit lagi..!” gumamnya. Kopi hangat yang sudah tak lagi berasap karena terlalu lama dibiarkannya, akhirnya dicicipinya juga. Meski tak senikmat ketika masih panas, namun ia sangat berterimakasih kepada Pak Udin, telah bersedia menyiapkan minuman yang sebenarnya tak terlalu ia suka. Untuk menghargai Pak Udin ia tetap menerima dan meminumnya, karena pasti Pak udin akan sangat kecewa ketika nanti datang untuk mengambil gelasnya dan masih ada kopi di dalamnya. Ia tersenyum sendiri membayangkan cerungut Pak Udin yang sedang kesal.


Fay, sudah sampai di rumah. Ia dikagetkan oleh seseorang yang tengah duduk di kursi beranda depan, sepertinya orang itu sudah menunggunya sejak lama. ” Hi..!” sapa Fay agak hambar. Sebenarnya Fay ingin menyapanya dengan sedikit lebih manis, tapi mungkin karena sudah terlalu lelah dan ketidak sukaannya pada orang itu membuat yang keluar dari mulutnya Cuma itu. “Hi,..aku sudah menunggumu dari tadi, kenapa lama sekali..?” jawab pria itu. Fay hanya mengulum senyumnya, lalu duduk di kursi di sebelah pria itu. “Ada apa..?” Tanya Fay..membuka kembali percakapan yang sempat terhenti sesaat.

” Orang tuaku sudah tak sabar lagi, ingin menyaksikan pernikahan kita. Kenapa hatimu membatu, bahkan lebih keras dari batu karang di dasar lautan. Aku berusaha memecahkannya tapi tak pernah bisa.! Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?” lama Fay hanya membisu dan tertunduk, ia sendiri juga tak mengerti kenapa akhir-akhir ini sikapnya jadi aneh. Terutama pada lelaki ini. Padahal ia tahu persis sesungguhnya hatinya tidaklah sebenci itu.

Tapi Fay benar-benar heran dengan jalan pikiran lelaki yang sebenarnya sangat dicintainya itu. Apakah ia harus menikah dan hidup hanya bermodalkan cinta? Apa orang bisa makan dengan cinta?. Fay bukan cewek matre, yang meletakkan harta dan materi di atas segala-galanya. Ia hanya ingin melihat kesungguhan kekasihnya itu, seberapa besar ia mencintai Fay, bukan hanya sekedar nafsu untuk memiliki, tetapi keinginan dan usahanya untuk memikul sebuah tanggungjawab.

Apa ia tahu makna pernikahan sesungguhnya, apa ia juga tahu bahwa sebagai suami ia bertanggung jawab menafkahi istrinya lahir bathin. Apa ia sudah sanggup?
“Apa yang kau harapkan dari pernikahan ini?” ucap Fay dengan nada menantang. “Bukankah menikah itu untuk menyatukan dua orang yang berbeda dalam satu ikatan, dan seharusnya mereka saling melengkapi” lanjut Fay, berceramah.

” Aku mencintaimu, dan aku juga menginginkan hubungan kita berakhir dengan pernikahan. Tapi aku sungguh tidak siap dengan cara hidupmu yang seperti ini. Aku tidak mengecilkan dirimu karena kau seorang pengangguran. Tapi aku tidak suka karena tak ada usahamu untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. Apa kau pikir aku senang, setelah menjadi istrimu lalu aku bergantung kepada keluargamu yang kaya raya itu”? kali ini Fay menumpahkan semua yang menyesak didadanya.

“Tapi kita akan bahagia, aku janji” lelaki itu tak bisa banyak bicara.
” Kenapa kau tidak berusaha membahagiakanku dari sekarang, aku akan menikah jika kau sudah punya pekerjaan. Buatku itu bukti bahwa kau benar-benar ingin hidup denganku. Sudahlah aku capek, aku harus istirahat!” Fay berlalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan pria itu terpaku dalam ketidakberdayaannya.

Fay mencoba, menenangkan hatinya. Mencari pembenaran bahwa menikah dengan pria pengangguran itu akan bahagia. Tapi pikirannya selalu mengatakan itu konyol, masalahnya buat Fay calon suaminya tidak harus sorang direktur atau pengusaha sukses atau apapun yang menjanjikan materi yang berlimpah. Bukan…bukan itu yang Fay mau, tapi ia ingin melihat usahanya untuk memberikannya sedikit rasa nyaman. Hingga tak ada ketakutan untuk mengarungi hidup dengan pria itu. Apa itu salah, apa itu tuntutan yang berlebiahan seorang perempuan? Sebagai bukti bahwa ia memang bisa diandalakan nantinya sebagai seorang suami.

” Hufff…beginilah kalau dibesarkan sebagai anak mami…manja dan ga bisa apa-apa” umpatnya geram. Fay harus segera mengambil keputusan, ia tak mau berlama-lama dalam lilitan masalah yang tak berujung ini. ” Pria itu memang keras kepala,”

Fay membiarkan dirinya tenggelam dalam pekerjaannya di kantor, ia melupakan saja lelaki itu. Fay tak ingin lagi mengenalnya. Fay harus memutuskan hubungan ini. Fay tak mau mempertaruhkan hidupnya. Memberikan kepada pria yang acuh saja terhadap masa depannya. Fay sudah melupakannya, setelah kemaren mereka membahasnya lagi. Dan tetap tak ada jalan keluar.

Akhirnya Fay memilih mundur. Ia bukan laki-laki yang pantas untukku. Ia sadar lelaki itu mungkin bukan jodohnya. Tak ada tangis, tak ada air mata. Fay membelenggu kesedihannya. Fay melepas semua cinta yang dulu dimilikinya untuk pria itu. Fay mengerti cinta tidak harus diberikan kepada seseorang yang tidak bisa mengahargai cinta itu sendiri.

Di ujung sana ada yang lain yang dicarinya, yang benar-benar siap membawanya berlayar, kemanapun ia suka. Tanpa ia harus takut akan tenggelam. Karena seseorang itu akan menjadi penolongnya, pelindungnya dan tempat untuk ia meleburkan hati yang kini benar-benar telah membatu. Sekali lagi Fy berucap ” Mungkin lebih baik tak berjodoh dengan mu”.

ditulis Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar